Thursday, June 9, 2016

KOROSI




 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

       Korosi atau karat pada suatu logam terutama besi, merupakan fenomena alam yang biasa terjadi disekitar kita. Korosi merupakan gangguan yang sangat mengganggu dan sulit untuk dihindari.
Banyak cara untuk menghindari gangguan korosi ini, salah satunya dengan sistem proteksi katodik arus tanding (impressed current cathodic protection).Sistem proteksi katodik arus tanding adalah suatu metode perlindungan karat yang menggunakan tegangan DC untuk proses perlindungannya. Tegangan DC digunakan untuk membuat suatu logam semakin sedikit mengalami korosi karena potensial dari logam tersebut dibuat semakin negatif2. Dalam proses pengendalian sumber tegangan searah (DC) ini digunakan converter tegangan DC. Tegangan DC diperoleh dari proses penyearahan (rectifier) tegangan AC. Hasil keluaran tegangan DC akan dinaikan atau diturunkan dengan DC- DCconverter yaitu menggunakan Buck Converter untuk mendapatkan tegangan yang teregulasi. Dengan menggunakan Buck Converter dapat diperoleh tegangan variabel yang dapat digunakan untuk memberikan sumber tegangan DC ke sistem proteksi Katodik arus tanding sesuai arus yang diperlukan.


1.2    Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu : agar  mahasiswa dapat memahami peristiwa korosi dan penyebab terjadinya korosi . Mengetahui bagaimana cara mengatasinya.
.


BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Definisi Korosi

Kerusakan merupakan proses redoks pada permukaan logam dan llingkungannya. Korosi atau pengkaratan adalah kerusakan atau degradasi logam akibat bereaksi dengan lingkungan yang korosif. Penyelidikan tentang sistem elektrokimia telah banyak membantu menjelaskan mengenai korosi ini, yaitu reaksi kimia antara logam dengan zat-zat yang ada di sekitarnya atau dengan partikel-partikel lain yang ada di dalam matrik logam itu sendiri. Jadi dilihat dari sudut pandang kimia, korosi pada dasarnya merupakan reaksi logam menjadi ion pada permukaan logam yang kontak langsung dengan lingkungan berair dan beroksigen. Contoh korosi yang paling lazim adalah perkaratan besi. Pada peristiwa korosi, logam mengalami oksidasi, sedangkan oksigen (udara) mengalami reduksi. Karat logam umumnya berupa oksida atau karbonat. Rumus kimia karat besi adalah Fe2O3 . XH2O, suatu zat padat yang berwarna coklat-merah. Pada korosi besi, bagian tertentu dari besi berlaku sebagai anode, dinama besi mengalami oksidasi.

Fe(s) → Fe2+(aq) + 2e E0 = + 0,44 V
Elektron yang dibebaskan di anode mengalir ke bagian lain dari besi yang berlaku sebagai katode, dimana oksigen tereduksi.
O2(g) + 2H2O(l) + 4e → 4OH-(aq) E0 = + 0,40 V
atau
O2(g) + HH+(aq) + 4e → 2H2O(l) E0 = + 1,23 V
Ion besi (II) yang terbentuk pada anode selanjutnya teroksidasi membentuk ion besi (III) yang kemudian membentuk senyawa oksida terhidrasi, Fe2O3 . XH2­O, yaitu karat besi. Maka reaksi yang terjadi :
Anode : 2Fe(s) → 2Fe2+(aq) + 4e E0 = + 0,44 V
Katode : O2(g) + 2H2O(l) + 4e → 4OH-(aq) E0 = + 0,40 V
Reaksi Sel : 2Fe(s) + O2(g) + 2H2O(l) → 2Fe2+(aq) + 4OH-(aq) E0reaksi = 0,84 V
Ion Fe2+ tersebut kemudian mengalami oksidasi lebih lanjut dengan reaksi :
4Fe2+(aq) + O2(g) + (4 + 2n) H2O → 2Fe2O3 . nH2O + 8H+(aq)
Mengenai bagian mana dari besi itu yang bertindak sebagai anode dan dan bagian mana yang bertindak sebagai katode bergantung pada berbagai faktor, misalnya zat pengotor, atau perbedaan rapatan logam itu. Korosi besi memerlukan oksigen dan air.

2.2  Korosi Suhu Rendah
Berdasarkan temperature kerja,korosi dapat dikelompokkan dalam dua bagian,yaitu korosi basah dan korosi kering,dimana korosi basah terjadikarena logam terendam dalam suatu larutan dan pada temperature yangrelative rendah,sedangkan korosi temperature tinggi terjadi padatemperature dimana tidak ada lagi larutan dalam bentuk cair,dan sering berada pada temperature diatas 500°C. Sebenarnya ada jenis korosilainnya,yaitu korosi atmosferik yang terjadi pada temperature rendah dan pada lingkungan gas atau uap. Walaupun peristiwa korosi itu berbeda-bedakondisinya,tetapi ada satu hal yang tidak bisa dihindarkan, yaitu terjadinyasuatu reaksi elektrokimia pada semua peristiwa korosi tersebut.

2.3 Korosi Suhu Tinggi
Korosi temperature tinggi didefinisikan sebagai  proses degradasi  atau penurunan  mutu material termasuk degradasi sifat-sifat mekanismenya yang disebabkan  oleh adanya pengaruh atmosfer pada suhu tinggi . Temperature tinggi memiliki pengertian bahwa air dalam fasa gas , atmosfer tidak mengandung air . Temperature dimana terjadi difusi atom yang memberikan pengaruh yang besar dan temperaturenya diestimasi dengan 0,5 Tm
( temperature melting, kelvin ) . Temperature terjadinya besi / baja dengan cepat yaitu diatas 570 derajat celcius .
Temperature tinggi memberikan pengaruh ganda tehadap degradasi  logam yang ditimbulkanay . Pertama , kenaikan temperature akan mempengaruhi aspek termodinamika dan kinetika reaksi , artinya deegradasi  akan semakin cepat pada temperature yang lebi tinggi . Yng kedua , kenaikan temperature  akan mempengaruhi dan merubah struktur  dan perilaku logam . Jika stuktur berubah , maka secara umum  kekuatan da perilaku logam juga berubah . Jadi selain terjadi  degradasi yang berupa kerusakan  fisik pada permukaan  atau kerusakan ekternal , juga terjadi degradasi yang berupa kerusakan  penurunan sifat mekanik , logam menjadi rapuh .

Pada temperature tinggi , atmosfer bersifat oksidatif , atmosfer yang berpotensi untuk mengoksidasi logam . Amosfer ini merupakan lingkungan penyebab utama terjadinya korosi pada temperature tinggi . korosi pada temperature tinggi mencangkup  reaksi langsung antara logam dengan gas . untuk lingkungan tertentu kerusakan dapat terjadi akibat reaksi dengan lelehan garam , atau fused salat yng terbentuk pada temperature tinggi , korosi ini biasa disebut  hot corrosion atau korosi panas .
Kecenderungan suatu logam untuk beroksidasi, sama seperti reaksi spontan lainnya, ditandai oleh perubahan energi bebas ΔG yang menyertai pembentukan oksidasi. Berbagai jenis logam mudah teroksidasi karena memiliki nilai ΔG negatif. Sesuai persamaan Gibbs dengan sendirinya terdapat hubungan antara ΔGo dengan ΔHo, panas reaksi standar dari perubahan entropi standar ΔS. Variasi energi bebas standar dengan perubahan temperatur absolut untuk sejumlah logam oksidasi dapat  Nilai numerik ΔG untuk reaksi oksidasi berkurang dengan meningkatnya temperatur, berarti stabilitas oksida berkurang. Hal ini terjadi karena entropi yang menyertai reaksi, padatan (logam) + gas (oksigen), keduanya padat, mempunyai nilai entropi yang hampir sama dan d(ΔGo)/dT hampir ekivalen dengan entropi oksigen, yaitu 209,3 J deg-1 mol-1. Oleh karena itu di sekitar nilai ini, garis ΔG terhadap T mempunyai kemiringan ke atas, dan setiap perubahan kemiringan terjadi karena perubahan diabsorpsi permukaan logam berdisosiasi menjadi komponen atom sebelum membentuk ikatan kimia dengan atom permukaan logam, proses ini disebut kemisorpsi. Setelah terbentuk beberapa lapisan adsorpsi, oksida bernukleasi secara epitaksial pada butir logam induk di lokasi yang diutamakan, seperti dislokasi dan atom pengotor. Setiap daerah nukleasi tumbuh, merasuk satu dengan lainnya sehingga terbentuk lapisan tipis oksida di seluruh permukaan. Oleh karena itu oksida biasanya terdiri dari agregat butir-individu atau kristal, dan menampakkan gejala seperti rekristalisasi, pertumbuhan butir, creep mencakup cacat kisi, mirip dengan yang terjadi pada logam.
       Apabila lapisan oksida yang mula-mula terbentuk bersifat porous, oksigen dapat tembus dan terjadi reaksi pada antar muka oksida-logam. Namun, umumnya, lapisan tipis tidak porous dan oksida selanjutnya mencakup difusi melalui lapisan oksida. Apabila terjadi oksida di permukaan oksida oksigen maka ion logam dan elektron harus berdifusi dalam logam yang berada di bawahnya. Apabila reaksi oksidasi terjadi di antarmuka logam-oksida, ion oksigen harus berdifusi melalui oksida dan elektron berpindah dengan arah berlawanan untuk menuntaskan reaksi.
Pertumbuhan lapisan oksida dapat diikuti dengan keseimbangan-termal memiliki kepekaan hingga 10-7 g, dan pengurangan dilakukan di lingkungan pada temperatur yang dikendalikan dengan teliti. Teknik metalografi yang paling sering diterapkan adalah elipsometri, yang bergantung pada perubahan di bidang polarisasi berkas cahaya-terpolarisasi yang dipantulkan oleh permukaan oksida; sudut rotasi bergantung tebal oksida. Selain itu juga digunkan interferometri, tetapi kini lebih sering dipakai replika dan lapisan tipis di mikroskop transmisi elektron dan mikroskopik scanning elektron. Laju penebalan oksidasi bergantung pada temperatur dan meterial

2.4  Laju Korosi

Mekanisme korosi tidak terlepas dari reaksi elektrokimia. Proses elektrokimia melibatkan perpindahan elektron-elektron. Perpindahan elektron merupakan hasil reaksi redoks (reduksi-oksidasi). Mekanisme korosi melalui reaksi elektrokimia melibatkan reaksi anodik dan reaksi katodik.

 a.Reaksi Anodik (Oksidasi)
Reaksi Anodik terjadi di daerah anode. Reaksi anodik (oksidasi) diindikasikan melalui peningkatan valensi atau produk elektron-elektron. Reaksi anodik yang terjadi pada proses korosi logam, yaitu :
M → Mn+ + ne

Proses korosi dari logam M adalah proses oksidasi logam menjadi satu ion (n+) dalam pelepasan n elektron. Harga dari n bergantung dari sifat logam sebagai contoh besi :
Fe → Fe2+ + 2e

b.Reaksi Katodik (Reduksi)
Reaksi katodik terjadi di daerah katode. Reaksi katodik diindikasikan melalui penurunan nilai valensi atau konsumsi elektron-elektron yang dihasilkan dari reaksi anodik.
Beberapa reaksi katodik yang terjadi selama proses korosi logam, yaitu :
Pelepasan gas hidrogen
2H+ + 2e → H2
Reduksi oksigen
O2 + 4H+ + 4e → 2H2O
 O2 + 2H2O + 4e → 4OH­-
Reduksi ion logam
Fe3+ + e → Fe2+
Pengendapan logam
3Na+ + 3e → 3Na
Reduksi ion hidrogen
O2 + 4H+ + 4e → 2H2O


2.5 Cara Menghititung Laju Korosi
Pada dasarnya uji koroi dapat dilakukan baik secara simultif di dalam laboratorium ataupun secara langsung di lapangan . Uji korosi di laboratorium biasanya dilakukan terhadap benda uji yang berupa potongan sampel yang di ambil dari logam / paduan yang akan di pakai seutuhnya . Lama pengujian mungkin hanya membutuhkan beberapa menit saj , atau dapat juga selama beberapa bulan , tergantung pada metode yang digunakan .
Salah satu metoda sederhana dapat digunakan untuk menentukan laju korosi adalah dengan merendam sampel logam dalam media korosif tertentu , Pengujian ini biasa disebut uji perendaman , atau immerion test . Pengujian ini digolongkan sebagai uji yang dipercepat , atau acceleratated test .
Jika suatu sampel logam M yang memiliki berat jenis D g/cm^3 dengan luas permukaan A in2, dan setelah direndam dalam larutan X selama t jam , beratnya berkuang sebesar W miligram , maka laju korosi M dalam larutan X dapt dihitung berdasarkkan formula berikut :
 R= (953W)/(D.A.T)
R= laju korosi
W= kehilangan berat
D=densitas ,g/cm3
A = luaas permukaan sampel , in2
T = lama waktu pengujian , jam
Sebagai catatatn bahwa rumus di atas dapt digunakan dengan asumsi bahwa logam mengalami serangan korosi merata dalam larutan X.

2.6 Mekanisme Pertumbuhan Oksida
 Perubahan energi bebas menunjukkan kemungkinan produk reaksi stabil, tetapi tidak meramalkan laju pembentukan produk. Selama oksidasi, molekul oksigen pertama yang logam, terbentuk medan listrik yang kuat pada lapisan tipis oksida, medan ini menarik atom logam melalui oksida. Pada rentang temperatur yang rendah ini (untuk Fe di bawah 200oC) ketebalan bertambah secara logaritmik dengan waktu (x ∞ Ln t), dan laju oksidasi turun dengan berkurangnya kekuatan medan.

Pada temperatur intermediat (antara 50o - 1000°C untuk Fe) oksidasi berkembang terhadap waktu mengikuti hukum parabola (x 2 ∞ t) untuk hampir semua logam. Di daerah ini pertumbuhan merupakan proses aktivasi-termal dan ion-ion melalui lapisan oksida dengan gerakan termal, dan kecepatannya bermigrasi bergantung pada jenis cacat struktur dalam kisi oksida. Tegangan yang besar, baik tekan maupun tarik, seringkali dialami lapisan oksida pelindung retak dan lepas. Pengelupasan berulang yang terjadi pada skala kecil menghalangi pertumbuhan parabolik yang lebih luas dan oksidasi memiliki laju linear bahkan lebih cepat. Tegangan dalam lapisan oksida berkaitan dengan rasio Pilling-Bedworth (P-B), yaitu rasio volume molekuler oksida terhadap volume atomik logam yang membentuk oksida. Apabila rasio lebih kecil dari satu seperti untuk Mg, Na, K, oksida yang terbentuk mungkin tidak memberikan perlindungan yang memadai terhadap oksidasi selanjutnya, sejak tahap awal dan dengan kondisi seperti ini yang lazim dijumpai pada logam-logam alkali, diikuti hubungan oksidasi linear (x ∞ t). Namun, apabila rasio P-S jauh lebih besar dari satu, seperti pada logam transisi, oksida terlalu tebal dan pengelupasan juga cenderung terjadi.
Pada temperatur tinggi, lapisan bertambah tebal sesuai hukum laju parabolik (x 2 ∞ t). Cacat titik berdifusi melalui oksida karena terdapat gradien konsentrasi yang konstan. Cacat ditiadakan pada salah satu antar muka dan terjadi pembentukan lokasi kisi yang baru. Khususnya seng oksida bertambah tebal karena difusi interstisi seng yang terbentuk di antarmuka logam oksida melalui oksida menuju antarmuka oksida logam dan di sini menghilang karena reaksi:
                                                 2Zni++ + 4e + O2 → 2ZnO
Konsentrasi interstisi seng pada antar muka logam/oksida dipertahankan oleh reaksi:
Zn(logam) → Znj++ +2e

Dengan pembentukan kekosongan dalam kisi seng. Migrasi cacat interstisi bermuatan terjadi bersamaan dengan imigrasi elektron, dan untuk lapisan oksida yang tebal, wajar untuk mengasumsi bahwa konsentrasi kedua spesies yang bermigrasi adalah konstan pada kedua permukaan oksida, yaitu permukaan oksida/gas dan aksida logam, konsentrasi dikendalikan oleh kesetimbangan termodinamika setempat, jadi melintasi oksida terdapat perbedaan konsentrasi konstan Δc dan laju transportasi melalui satuan luas DΔc/x, di mana D adalah koefisien difusi dan x adalah tebal lapisan. Maka laju pertumbuhan:

Dx/dt ∞ DΔc/x


Dan penebalan lapisan bertambah secara parabolik sesuai hubungan. x 2 = kt, di mana k adalah konstanta yang mencakup beberapa parameter struktur. Wagner menunjukkan proses oksidasi dapat dijabarkan menjadi arus ionik ditambah arus elektronik, dan mendapatkan persamaan laju oksidasi yang dinyatakan dalam ekivalen kimia cm-2s-1, masing-masing mencakup jumlah transportasi anion dan elektron, konduktivitas oksida, potensial kimia dari ion yang berdifusi pada antarmuka dan ketebalan lapisan oksida. Pada rentang temperatur tertentu berbagai oksida bertambah tebal sesuai hukum parabolik.
Pada temperatur rendah dan untuk lapisan oksida yang tipis, berlaku hukum logaritmik. Apabila tebal kerak bertambah mengikuti hukum parabolik, resultan tegangan yang terjadi pada antar muka bertambah dan akhirnya lapisan oksida mengalami kegagalan-perpatahan sejajar dengan antar muka atau mengalami perpatahan geser atau pematahan tarik melalui lapisan. Di daerah ini laju oksidasi meningkat sehingga terjadi peningkatan yang kemudian berkurang lagi akibat perpatahan lokal di kerak oksida. Laju oksidasi yang bersifat parabolik berubah menjadi rata dan laju oksidasi mengikuti hukum linear. Perubahan seperti ini disebut paralinear dan biasanya dijumpai pada oksidasi titanium setelah oksida mencapai ketebalan kritis .


2.7  Oksidasi Internal

     Pembentukan terisolasi partikel korosi produk di bawah permukaan logam. Ini terjadi sebagai akibat dari oksidasi preferensial konstituen aloi tertentu oleh batin difusi oksigen, nitrogen, belerang, dan sebagainya. Salah satu bahsan tentang oksida internal yaitu pada  Oksida perovskit (ABO3) merupakan suatu bentuk campuran oksida logam, dimana A adalah kation yang berukuran lebih besar daripada B. Ion A umumnya adalah kation dari logam alkali, logam alkali tanah atau logam tanah jarang, B adalah kation yang lebih kecil dan umumnya adalah kation dari logam transisi (Waterrud, 2005). Total muatan ion dari kedua logam tersebut haruslah 6 agar terjadi keseimbangan muatan dengan muatan negatif 6 yang dibawa oleh tiga ion oksigen. Oksida logam dengan struktur perovskit ini, banyak digunakan sebagai katalis untuk mengoksidasi hidrokarbon secara sempurna. Salah satu contohnya adalah perovskit La1-xSrxMO3 (M=Mn, Ni) yang dapat digunakan sebagai katalis pada reaksi oksidasi parsial metana menjadi syngas (Wei dkk., 2008). Contoh lain adalah oksida perovskit LaCo1-xCuxO3-δ yang digunakan pada reaksi oksidasi gas alam menjadi alkohol yang beratom karbon rendah (Tien-Thao dkk., 2007). Oksida perovskit berbasis LaCoO3 terbukti mempunyai sifat reduksi dan oksidasi yang baik serta, memiliki aktivitas dan selektivitas yang baik jika diaplikasikan menjadi katalis, serta dapat menghantarkan ion oksigen dengan fluks oksigen yang tinggi (Yang dkk., 2005; Wang dkk., 2003 dan Yaremchenko dkk., 2003), sehingga bisa diaplikasikan dalam membran Penghantar Ion Oksigen. Selain itu oksida perovskit dapat mempertahankan strukturnya karena setelah mengalami reduksi dapat direoksidasi.  Oksida-oksida perovskit juga dapat menyerahkan ion-ion oksigen yang menyusun strukturnya (oksigen kisi) tanpa mengalami perubahan struktur yang berarti. Penyerahan ion-ion oksigen ini menyebabkan kekosongan oksigen sehingga terjadi ketidakseimbangan muatan (muatan oksida perovskit menjadi 2
lebih positif). Namun, keberadaan kation-kation B, yang memiliki kemampuan untuk berada pada keadaan oksidasi yang berbeda, dapat menyeimbangkan muatan tersebut dengan cara menurunkan bilangan oksidasinya walaupun pada akhirnya kekosongan ion oksigen tersebut harus diisi kembali melalui reaksi oksidasi. Karena sifat tersebut maka oksida perovskit dapat mempertahankan strukturnya sehingga pelepasan oksigen dari kerangka struktur oksida perovskit bersifat reversible. Dengan sifat seperti itu, oksida perovskit dapat berperan sebagai oksidator sekaligus juga sebagai reduktor. Kemampuan oksida perovskit untuk melepaskan oksigen kisinya secara reversible merupakan salah satu alasan bagi penggunaan oksida perovskit sebagai membran penghantar ion oksigen. Penghantaran oksigen terjadi melalui reaksi oksidasi- reduksi internal di dalam struktur oksida perovskit yang efeknya terlihat sebagai difusi ion oksigen di dalam kisi. Karena sumber oksigen adalah dari kisi, maka hantaran ion oksigen tersebut sangat selektif sehingga tidak ada peluang bagi gas atau molekul lain yang dapat melalui membran oksida perovskit ini. Oleh karena itu, membran oksida perovskit ini digunakan secara luas dalam proses-proses produksi gas oksigen. Membran penghantar ion oksigen haruslah berupa bahan yang rapat (dense) sehingga tidak ada peluang bagi perpindahan massa melalui celah-celah pori dan retakan pada bahan membran. Keretakkan sekecil apapun tidak diperkenankan terjadi pada membran penghantar ion oksigen karena hal ini dapat menyebabkan perpindahan massa yang tidak melalui reaksi oksdasi-reduksi internal. Perpindahan seperti ini menyebabkan penurunan selektivitas perpindahan ion oksigen.
Oksida perovskit LaCoO3 yang digunakan sebagai membran penghantar ion oksigen harus berupa bahan yang rapat, tidak berpori dan tidak ada celah bagi terjadinya difusi gas melalui retakan- retakan pada membrannya. Namun berbagai penelitian melaporkan bahwa membran penghantar ion oksigen berbahan oksida perovskit mudah pecah atau retak jika terpapar oleh perubahan suhu dan tekanan mendadak (Tong dkk., 2002; Wang dkk., 2003; Hamakawa dkk., 2005).

2.8 Oksida Ekstrnal
yaitu korosi yang terjadi pada bagian permukaan dari sistem perpipaan dan peralatan, baik yang kontak dengan udara bebas dan permukaan tanah, akibat adanya kandungan zat asam pada udara dari tanah.


2.9 Oksida Pada Batuan

Oksida pada batuan di pengaruhi oleh kondi Kondisi basah dan kering mendorong pelapukan batuan secara fisik, yang umumnya memicu pelapukan secara kimia, karena ukuran butiran yang lebih halus berarti meningkatkan total luas permukaan reaktif. Hal ini juga berlaku bagi batuan yang mengandung mineral sulphide, yang umumnya terdapat pada batuan penutup di tempat penimbunan, yang akan mempercepat laju oksidasi (Davis dan Ritchie, 1987; Devasahayam, 2006). Ditinjau dari faktor fisik, perubahan ukuran partikel akan mengurangi permeabilitas lapisan yang disebabkan oleh terisinya ruang antar-batu dengan partikel halus yang dihasilkan dari proses pelapukan. Penurunan permeabilitas juga akan mengontrol laju infiltrasi air dan difusi/adveksi oksigen ke dan di dalam tempat penimbunan batuan (INAP, 2003). Karena oksigen dan air sangat penting dalam proses oksidasi batuan mengandung sulphide, penurunan laju reaksi tersebut akan meminimalkan potensi pembentukan AAT. Secara konseptual, pengaruh ukuran butiran terhadap potensi pembentukan AAT adalah seperti ditunjukkan oleh Gambar 1.
Studi lebih lanjut menunjukkan bahwa karakteristik geokimia, termasuk reaktifitas mineral sulphide, dan kecepatan pelapukan batuan secara fisik mempengaruhi kualitas air yang dihasilkan dalam proses pembentukan AAT (Nugraha et al, 2008). Studi ini dilakukan dengan menggunakan kolom berdiameter 50 mm dan tinggi 130 mm. Campuran seragam batuan mudstone NAF (MSN) dan PAF (MSP) (Tabel 1) digunakan dengan komposisi 50:50, dengan penyiraman 250 mL dan pemanasan 12 – 14 jam pada temperature 30-40 oC. Hasil analisa air untuk parameter pH, EC, Eh dan acidity menunjukkan adanya perbaikan kualitas air lindi.  Lebih lanjut, hydraulic conductivity yang diukur secara langsung dengan falling head method menunjukkan adanya penurunan nilai. Pembentukan ukuran partikel yang lebih halus, karena kejadian pelapukan fisik, mempengaruhi peningkatan kadar air. Akibatnya, laju oksidasi mineral sulphide dapat dikendalikan oleh kadar air yang dapat menentukan tingkat difusi oksigen.


KESIMPULAN


Adapun kesimpulan yang diperoleh dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Korosi adalah kerusakan atau degradasi logam akibat reaksi dengan lingkungan yang korosif.
2.      Factor yang menyebabkan timbulnya percepatan korosi antara lain : uap air, oksigen, larutan garam, permukaan logam yang tidak rata.
3.       Proses perkaratan pada besi adalah reaksi elektro kimia ( redoks ) yaitu :
Fe + ½ O2 + 2H+ → Fe2+ + H2O
Reaksi setengah redoksnya :
Katodik : ½ O2 + 2H+ + 2e-    → H2O    = + 1,23 volt
Anodik :  Fe            →Fe2+ + 2e-    = + 0,44 volt
              Fe + ½ O2 + 2H+     → Fe2+ + H2O
4.       Bentuk-bentuk korosi yang umum ditemukan pada korosi logam dilingkungan laut antara lain korosi merata, korosi setempat, korosi setempat, korosi galvanic, korosi sumuran, korosi celah, korosi erosi, impingement attack, perusakan cavitasi.
5.      Cara pencegahan  korosi antara lain dengan cara pelapisan,cara pelapisan katodik, perancangan, anoda karbon, pelumuran dengan oli atau gemuk, pembalutan dengan plastik.








DAFTAR PUSTAKA













1 comment:

  1. Lucky Club: How to register for a new account - Luckyclub
    Lucky Club - How to register for a new account. This is a common misconception luckyclub.live for a number of reasons including: You might not be able to use this site for

    ReplyDelete